Syekh Quro adalah Syekh Qurotul'ain atau Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah.
Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama
yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-qur'an
serta ahli qiro'at yang sangat merdu suaranya. Dia adalah putra seorang
ulama besar perguruan islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf
Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini
serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika di tarik dan di lihat
dari silsilah keturunan, Syekh Hasanudin atau Syekh Quro masih ada garis
keturunan dari Sayyidina Husein Bin Sayyidina Ali R.a dengan Siti
Fatimah putri Rosulullah SAW. menantu dari Nabi Muhammad SAW. dari
keturunan Dyah Kirana (
Ibunya Syekh Hasanudin atau Syekh Quro).
Selain itu Syekh Hasanudin atau Syekh Quro juga masih saudara
seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke-4 Amir
Abdullah Khanudin.

Konon, beliau pencetus pesantren sebagai candradimuka kaum santri.
Beliau adalah leluhur, guru dan teman seperjuangan Walisongo dalam
mensyiarkan agama islam yang kala itu masih dipenuhi sakralisasi Hindu.
Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah
Cirebon
pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syekh Nurjati mendarat di
Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah
pendaratan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh
Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar
atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.
Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanudin ke Cirebon adalah untuk
menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanudin
ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah
oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.
Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan
Cirebon
rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang.
Namun disayangkan misi Syekh Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di
tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya
untuk menghentikan misi penyebaran agama Islam yang dibawakan oleh
Syekh Hasanudin dan mengusir Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah
dari Tanah Cirebon.
Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka
utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Hasanudin atau Syekh
Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran agama
Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka
oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah
yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu
disetujuinya, dan Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah seraya
berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang:
"Meskipun
dakwah dan penyebaran ajaran agama Islam ini dilarang, kelak dari
keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan
perjuangan penyebaran ajaran agama islam". Peristiwa ini sontak
sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat
Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syekh
Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam
ajaran agama islam.
Ketika itu juga Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pamit kepada
Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng
Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung kesayangannya yang
bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanudin
atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka. Menurut juru kunci makam, Habib
Rista, Syekh Quro sempat membangun masjid dengan nilai arsitektur
tinggi. Masjid itu diberi nama
Mangal Mangil Mangup. Konon
dengan segala karomahnya, masjid itu dipindahkan secara ghaib ke Gunung
Sembung Cirebon yang pada masa itu menjadi kediaman Syekh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Hingga kini banyak orang yang ngalap berkah di makam Syekh Quro. Mereka
yang mempunyai hajat berziarah ke makam lalu mengambil Abu tempat
pembakaran kemenyan yang terletak di depan makam. Selain itu mereka juga
membawa air putih supaya didoakan oleh juru kunci makam. "Saya
mendoakan hajat para peziarah kepada Allah melalui perantara Syekh Quro.
Ada yang minta kenaikan pangkat, dagangannya supaya laris, menyukai
lawan jenis atau minta keselamatan". ungkap Habib Rista.
Di uraikannya, bahwa Abu dari makam Syekh quro itu memiliki
bermacam-macam fungsi. Jika ingin dagangannya laris maka abu itu disebar
di depan toko atau warungnya. Kalau ingin karirnya meningkat, abu itu
bisa disebar di kantor atau perusahaan tempatnya bekerja. "Sedang
jika mencintai seseorang supaya dapat menikahi, abu itu dapat ditaruh di
rokok, asapnya dikepulkan di depan orang yang taksir atau disebar di
depan rumah orang yang dituju tersebut". papar Habib Rista.
Jika keinginan mereka telah terkabul, peziarah itu biasanya melakukan
syukuran berupa nasi lengkap dengan lauk pauk. Nasi itu lalu diberi doa
pula dan sebagian diberikan kepada juru kunci, sebagian dibawa pulang
lagi untuk dimakan bersama keluarga. Peziarah yang datang tercatat dari
berbagai kota di pulau jawa, mulai dari Karawang, Jakarta, Bogor,
Bandung, Cirebon dan beberapa kota di jawa tengah dan jawa timur. Jika
peziarah dari luar kota, mereka bisa menginap di musholah yang berada di
kompleks pemakaman. "Banyak pula yang sengaja menginap untuk mencari wangsit atau petunjuk", Ungkap Habib Rista.
KEBERADAAN SYEKH QURO DI KARAWANG
Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah berada di Pelabuhan Bunut Kertayasa (Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini). Di Karawang beliau dikenal sebagai Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran
(hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Sumber lain mengatakan
bahwa Syekh Quro datang di Jawa tepatnya di Karawang pada 1418 Masehi
dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho
yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga zaman
Dinasti Ming). Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka
menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan.
Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah
satunya terdapat seorang ulama yang hendak menyebarkan agama islam di
Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang muslim, permintaan Syekh Quro
beserta pengiringnya menumpang kapalnya dikabulkan. Syekh Quro beserta
pengiringnya turun di pelabuhan Pura Dalem Karawang, sedangkan armada
Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati
Cirebon.
Di Kabupaten Karawang pada tahun 1340 Saka (1418 M) mendirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa Tanjung pura,Karawang Barat, Karawang,
sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar
Al-Quran. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama
para santrinya antara lain : Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang.
Syekh Quro
kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang
dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu
pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang
sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran agama islam di Karawang yaitu
bernama Syekh Abdullah Dargom alias Syekh Darugem bin Jabir Modafah
alias Syekh Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang
kelak disebut dengan nama Syekh Bentong atau Syekh Gentong alias Tan
Go.
Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan beliau mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci.
Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa,
akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri-santrinya yang sudah cukup
ilmu pengetahuan tentang ajaran agama islam seperti: Syekh Abdul Rohman
dan Syekh Maulana Madzkur ditugaskan untuk menyebarkan ajaran agama
islam ke bagian selatan karawang, tepatnya di kecamatan
Teluk Jambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegal Waru
sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang
bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan
menyebarkan ajaran agama islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid
Agung Karawang sekarang.
Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni
Syekh Bentong
ikut bersama Syekh Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian
utara karawang tepatnya ke Pulobata desa Pulokalapa kecamatan Lemah
abang kabupaten karawang sekarang, untuk menyebarkan ajaran agama islam
dan bermunajat kepada Allah swt.
Di Pulobata Syekh Quro dan Syekh Bentong membuat sumur yang bernama
Sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.
Waktu terus bergulir usia Syekh Quro sudah sangat udzur atau tua,
akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata
Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Sebelum
meninggal dunia Syekh Quro berwasiat kepada santri-santrinya yaitu :
"Ingsun titip masjid langgar lan fakir miskin anak yatim dhuafa".
Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran agama islam di Pulobata,
diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong. Makam
Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden
Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha pada
tahun 1859 Masehi atau pada abad ke-19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin
alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha, di tugaskan oleh kesultanan
Cirebon, untuk mencari makam maha guru leluhur Cirebon yang bernama
Syekh Quro. Bukti adanya makam Syech Quro Karawang di Pulo Bata Desa
Pulokalapa Kecamatan Lemah abang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi
oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin
saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan
dari
Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor : P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang ditunjukan kepada kepala desa Pulokalapa kecamatan lemah abang kabupaten karawang.
RIWAYAT SEJARAH DITEMUKANNYA MAKAM SYEKH QURO
Sebelum anda memasuki areal makam Syekh Quro alangkah baiknya terlebih
dahulu berziarah ke salah satu penemu makam Syekh Quro yaitu Ayah Dji'in
Sumaredja yang terletak di depan kantor desa Pulo kalapa. Untuk
menemukannya cukup mudah karena di depan halaman kantor desa Pulo kalapa
di sebelah kiri jalan ada patung besar buah kelapa.
Keberkahan makam Syekh Quro tak lepas dari riwayat penemuannya yang
menakjubkan. Rista menceritakan, pada abad ke-17 terdapat seorang yang
bernama Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Penganten Sambri. Beliau
keturunan Munding Kawangi dari leluhurnya kerajaan Galuh Pakuan,
Pajajaran. Dia diminta bantuan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari di
mana adanya atau tempatnya maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh
Quro.
Setelah adanya permohonan dari kesultanan
Cirebon
tersebut, Raden Somaredja dengan membawa pengawalnya dari kesultanan
menuju ke arah barat yaitu ke daerah Cianjur lalu ke Bogor yaitu ke
dusun Citeurep menemui pangeran Sake keturunan dari Syekh Maulana Yusuf
dari Banten.
Kemudian Raden Somaredja menceritakan maksud dan tujuannya. Di tempat
itulah, Raden Somaredja mendapat ilham untuk melanjutkan pencariannya ke
daerah karawang hingga sampailah di Kota Tandingan. Di lokasi tersebut,
beliau bertemu dan di sambut baik oleh Eyang Sarpi. Karena Raden
Someredja seorang yang baik hati dan cerdas, oleh Eyang Sarpi beliau di
angkat menjadi menantu atau dinikahkan dengan salah seorang putri
angkatnya yang bernama Nyai Anisa.
Pernikahan Raden Someredja dengan Nyai Anisah, di karuniai tiga putra
yaitu: Raden Suryadiredja alias Dji’in, Raden Suryadidjaya alias Mian,
Raden Suryawidjaya alias Embeh. Dari ketiga keturunan inilah yang telah
menurunkan para pemimpin desa Pulokalapa dan Pengurus Makam Syekh Quro.
Sejak punya anak pertama Raden Suryaredja alias Dji’in, maka Raden
Somaredja disebut Ayah Dji’in dan Nyai Anisah istrinya disebut Ma ini.
Eyang Sarpi sebagai mertua dari Raden Somaredja, mengingatkan agar Raden
Somaredja segera melanjutkan perjalanannya. Seterusnya, Somaredja
beserta keluarga dan para pengawalnya, melanjutkan lagi ke daerah
karawang sebelah utara hingga sampai ke salahsatu perkampungan yang
disebut Pulokalapa, sampai di desa Pulokalapa pada tahun 1850 dan pada
waktu itu lahannya masih rawa-rawa belantara yang selajutnya di olah
oleh Raden Somaredja menjadi lahan pertanian yang subur.
“Namun pada sewaktu pengelolaan lahan tersebut, ada sesuatu yang aneh,
di suatu lahan yaitu di tanah timbul selalu banyak binatang-binatang
buas dan berbisa, seperti ular, harimau dan sebagainya", kisahnya.
Bahkan di tempat itu setiap malamnya terlihat oleh Raden Somaredja
selalu munculnya cahaya yang bersinar. Para pengikut Raden Somaredja pun
ketika, membuka lahan tersebut banyak yang sakit. Raden Somaredja
semakin penasaran dan berniat untuk meneliti tempat itu. Setelah ada
niatan tersebut di setiap tidurnya dia ia selalu bermimpi dan melihat
seorang ulama besar yang berpakaian jubah putih memegang tasbih sedang
bertawasul dan berdzikir kepada Allah SWT . Hingga tiga kali mimpi itu
selalu muncul hal yang sama.
Dengan berulangnya mimpi yang sama, lalu Raden Somaredja melakukan
istikomah dengan hati yang tulus dan ikhlas untuk memohon petunjuk dari
Allah SWT. Namun sebelumnya beliau melantunkan adzan terlebih dahulu di
tempat tersebut, tiba- tiba ada yang menyahutnya, ketika selesai
tawasul, dibacakannya salam, ada juga yang menyahutnya. "Ketika dilihat,
di depannya ada cahaya yang bersinar dan bersuara serta mengatakan,
bahwa beliau adalah Syekh Quro. Tempat itu persis di atas tumpukan bata-
bata yang ukurannya tidak sama dengan bata biasa. Sampai sekarang
disebut Kramat Pulobata," cetusnya.
Atas temuannya itu, Raden Somaredja langsung melaporkan ke keraton
Cirebon, sekaligus ingin adanya saksi atas penemuan itu.
Sehingga,sesuhunan Cirebon mengutus juru kunci Astana Gunung Jati yakni:
Kyai Talka atau Kyai Tolakoh untuk segera pergi ke tempat dimana temuan
Raden Somaredja tersebut.
Kyai Tolakoh dan Raden Somaredja sampai di Pulobata, masih menjumpai
cahaya yang bersinar. Terlihat oleh keduanya, seseorang yang berpakaian
jubah putih memegang tasbih yang sedang berdzikir, dan ketika diberi
salam, bayangan orang yang sedang berdzikir itu menjawab sambil
memberikan pesan, "Jaga dan peliharalah tempat ini, Insya Allah akan
membawa keberkahan untuk semuanya". Setelah itu, bayangan dan sinar
tersebut menghilang tanpa wujud.
Pada waktu itu,bertepatan pada hari Jum'at malam Sabtu Kliwon akhir
bulan Ruwah atau Sya'ban tahun 1277 H / 1859 M . Sejak itu, Raden
Somaredja dan Kyai Talka melaporkan penemuan tersebut ke kesultanan.
Sehingga para ulama Keraton Cirebon berkunjung ke tempat tersebut untuk
melakukan istighosah bersama. Semua sependapat dan meyakini bahwa di
tempat itulah keberadaan makam karomah Syekh Quro. Kemudian tempat itu
diberi tanda, dengan membawa Batu Jahul atau Batu nisan dari Cirebon,
Setiap Jum'at malam sabtu akhir bulan Sya'ban diperingati Haul Syekh
Quro. Pada malam Sabtunya, ribuan jamaah mengadakan dzikir atau tawasul
akbar. Atas amanah tersebut, Raden Somaredja memelihara tempat itu
hingga wafatnya pada tahun 1916 Masehi. Dia dimakamkan di Dusun Krajan I
Desa pulokalapa.
Sebelum Raden Somaredja alias Ayah Dji'in atau Pangeran Sambri yang
keturunan Munding Kawangi Raja Galuh Pakuan Pajajaran meninggal, beliau
memberikan pesan atau wasiat kepada keturunanya untuk melanjutkan
memelihara makam Syekh Quro. Di uraikan Rista, sejarah ditemukannya
makam Syekh Quro ini, di ambil dari keterangan Raden Suryadidjaya alias
Bah Mian atau Mail, putra kedua Raden Somaredja yang ketika wafatnya
berusia 105 tahun dan di makamkan di dekat Makam Syekh Quro Pulobata
pada tahun 1950 Masehi.
Ada pun keturunan Raden Somaredja yang kesatu Raden Suryadireja (Dji’in)
dan Raden Suryawidjaya (Embeh), setelah wafatnya di makamkan di dekat
makam Raden Somaredja di dusun kerajan I desa Pulo kalapa.