1
Terinspirasi Cerita Tentang Riwayat Makam Keramat Syekh Quro Pulobata Karawang
Posted by Andrew's My blog\
on
19.33
![]() |
Syekh Quro adalah Syekh Qurotul'ain atau Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-qur'an serta ahli qiro'at yang sangat merdu suaranya. Dia adalah putra seorang ulama besar perguruan islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika di tarik dan di lihat dari silsilah keturunan, Syekh Hasanudin atau Syekh Quro masih ada garis keturunan dari Sayyidina Husein Bin Sayyidina Ali R.a dengan Siti Fatimah putri Rosulullah SAW. menantu dari Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana (Ibunya Syekh Hasanudin atau Syekh Quro). Selain itu Syekh Hasanudin atau Syekh Quro juga masih saudara seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke-4 Amir Abdullah Khanudin.

Konon, beliau pencetus pesantren sebagai candradimuka kaum santri. Beliau adalah leluhur, guru dan teman seperjuangan Walisongo dalam mensyiarkan agama islam yang kala itu masih dipenuhi sakralisasi Hindu.
Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa. Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.
![]() |
Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syekh Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanudin dan mengusir Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.
Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang: "Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran agama islam". Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran agama islam.
Ketika itu juga Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka. Menurut juru kunci makam, Habib Rista, Syekh Quro sempat membangun masjid dengan nilai arsitektur tinggi. Masjid itu diberi nama Mangal Mangil Mangup. Konon dengan segala karomahnya, masjid itu dipindahkan secara ghaib ke Gunung Sembung Cirebon yang pada masa itu menjadi kediaman Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Hingga kini banyak orang yang ngalap berkah di makam Syekh Quro. Mereka yang mempunyai hajat berziarah ke makam lalu mengambil Abu tempat pembakaran kemenyan yang terletak di depan makam. Selain itu mereka juga membawa air putih supaya didoakan oleh juru kunci makam. "Saya mendoakan hajat para peziarah kepada Allah melalui perantara Syekh Quro. Ada yang minta kenaikan pangkat, dagangannya supaya laris, menyukai lawan jenis atau minta keselamatan". ungkap Habib Rista.
Di uraikannya, bahwa Abu dari makam Syekh quro itu memiliki bermacam-macam fungsi. Jika ingin dagangannya laris maka abu itu disebar di depan toko atau warungnya. Kalau ingin karirnya meningkat, abu itu bisa disebar di kantor atau perusahaan tempatnya bekerja. "Sedang jika mencintai seseorang supaya dapat menikahi, abu itu dapat ditaruh di rokok, asapnya dikepulkan di depan orang yang taksir atau disebar di depan rumah orang yang dituju tersebut". papar Habib Rista.
Jika keinginan mereka telah terkabul, peziarah itu biasanya melakukan syukuran berupa nasi lengkap dengan lauk pauk. Nasi itu lalu diberi doa pula dan sebagian diberikan kepada juru kunci, sebagian dibawa pulang lagi untuk dimakan bersama keluarga. Peziarah yang datang tercatat dari berbagai kota di pulau jawa, mulai dari Karawang, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon dan beberapa kota di jawa tengah dan jawa timur. Jika peziarah dari luar kota, mereka bisa menginap di musholah yang berada di kompleks pemakaman. "Banyak pula yang sengaja menginap untuk mencari wangsit atau petunjuk", Ungkap Habib Rista.
KEBERADAAN SYEKH QURO DI KARAWANG
Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah berada di Pelabuhan Bunut Kertayasa (Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini). Di Karawang beliau dikenal sebagai Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Sumber lain mengatakan bahwa Syekh Quro datang di Jawa tepatnya di Karawang pada 1418 Masehi dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga zaman Dinasti Ming). Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan. Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat seorang ulama yang hendak menyebarkan agama islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang muslim, permintaan Syekh Quro beserta pengiringnya menumpang kapalnya dikabulkan. Syekh Quro beserta pengiringnya turun di pelabuhan Pura Dalem Karawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati Cirebon.
Di Kabupaten Karawang pada tahun 1340 Saka (1418 M) mendirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa Tanjung pura,Karawang Barat, Karawang, sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al-Quran. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain : Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran agama islam di Karawang yaitu bernama Syekh Abdullah Dargom alias Syekh Darugem bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong atau Syekh Gentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan beliau mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci.
Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri-santrinya yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran agama islam seperti: Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur ditugaskan untuk menyebarkan ajaran agama islam ke bagian selatan karawang, tepatnya di kecamatan Teluk Jambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegal Waru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran agama islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.
Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syekh Bentong ikut bersama Syekh Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian utara karawang tepatnya ke Pulobata desa Pulokalapa kecamatan Lemah abang kabupaten karawang sekarang, untuk menyebarkan ajaran agama islam dan bermunajat kepada Allah swt.
Di Pulobata Syekh Quro dan Syekh Bentong membuat sumur yang bernama Sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang. Waktu terus bergulir usia Syekh Quro sudah sangat udzur atau tua, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Sebelum meninggal dunia Syekh Quro berwasiat kepada santri-santrinya yaitu : "Ingsun titip masjid langgar lan fakir miskin anak yatim dhuafa".
Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran agama islam di Pulobata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong. Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke-19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha, di tugaskan oleh kesultanan Cirebon, untuk mencari makam maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro. Bukti adanya makam Syech Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemah abang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor : P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang ditunjukan kepada kepala desa Pulokalapa kecamatan lemah abang kabupaten karawang.
RIWAYAT SEJARAH DITEMUKANNYA MAKAM SYEKH QURO
Sebelum anda memasuki areal makam Syekh Quro alangkah baiknya terlebih dahulu berziarah ke salah satu penemu makam Syekh Quro yaitu Ayah Dji'in Sumaredja yang terletak di depan kantor desa Pulo kalapa. Untuk menemukannya cukup mudah karena di depan halaman kantor desa Pulo kalapa di sebelah kiri jalan ada patung besar buah kelapa.
![]() |
Setelah adanya permohonan dari kesultanan Cirebon tersebut, Raden Somaredja dengan membawa pengawalnya dari kesultanan menuju ke arah barat yaitu ke daerah Cianjur lalu ke Bogor yaitu ke dusun Citeurep menemui pangeran Sake keturunan dari Syekh Maulana Yusuf dari Banten.
Kemudian Raden Somaredja menceritakan maksud dan tujuannya. Di tempat itulah, Raden Somaredja mendapat ilham untuk melanjutkan pencariannya ke daerah karawang hingga sampailah di Kota Tandingan. Di lokasi tersebut, beliau bertemu dan di sambut baik oleh Eyang Sarpi. Karena Raden Someredja seorang yang baik hati dan cerdas, oleh Eyang Sarpi beliau di angkat menjadi menantu atau dinikahkan dengan salah seorang putri angkatnya yang bernama Nyai Anisa.
Pernikahan Raden Someredja dengan Nyai Anisah, di karuniai tiga putra yaitu: Raden Suryadiredja alias Dji’in, Raden Suryadidjaya alias Mian, Raden Suryawidjaya alias Embeh. Dari ketiga keturunan inilah yang telah menurunkan para pemimpin desa Pulokalapa dan Pengurus Makam Syekh Quro.
Sejak punya anak pertama Raden Suryaredja alias Dji’in, maka Raden Somaredja disebut Ayah Dji’in dan Nyai Anisah istrinya disebut Ma ini. Eyang Sarpi sebagai mertua dari Raden Somaredja, mengingatkan agar Raden Somaredja segera melanjutkan perjalanannya. Seterusnya, Somaredja beserta keluarga dan para pengawalnya, melanjutkan lagi ke daerah karawang sebelah utara hingga sampai ke salahsatu perkampungan yang disebut Pulokalapa, sampai di desa Pulokalapa pada tahun 1850 dan pada waktu itu lahannya masih rawa-rawa belantara yang selajutnya di olah oleh Raden Somaredja menjadi lahan pertanian yang subur.
“Namun pada sewaktu pengelolaan lahan tersebut, ada sesuatu yang aneh, di suatu lahan yaitu di tanah timbul selalu banyak binatang-binatang buas dan berbisa, seperti ular, harimau dan sebagainya", kisahnya.
Bahkan di tempat itu setiap malamnya terlihat oleh Raden Somaredja selalu munculnya cahaya yang bersinar. Para pengikut Raden Somaredja pun ketika, membuka lahan tersebut banyak yang sakit. Raden Somaredja semakin penasaran dan berniat untuk meneliti tempat itu. Setelah ada niatan tersebut di setiap tidurnya dia ia selalu bermimpi dan melihat seorang ulama besar yang berpakaian jubah putih memegang tasbih sedang bertawasul dan berdzikir kepada Allah SWT . Hingga tiga kali mimpi itu selalu muncul hal yang sama.
Dengan berulangnya mimpi yang sama, lalu Raden Somaredja melakukan istikomah dengan hati yang tulus dan ikhlas untuk memohon petunjuk dari Allah SWT. Namun sebelumnya beliau melantunkan adzan terlebih dahulu di tempat tersebut, tiba- tiba ada yang menyahutnya, ketika selesai tawasul, dibacakannya salam, ada juga yang menyahutnya. "Ketika dilihat, di depannya ada cahaya yang bersinar dan bersuara serta mengatakan, bahwa beliau adalah Syekh Quro. Tempat itu persis di atas tumpukan bata- bata yang ukurannya tidak sama dengan bata biasa. Sampai sekarang disebut Kramat Pulobata," cetusnya.
Atas temuannya itu, Raden Somaredja langsung melaporkan ke keraton Cirebon, sekaligus ingin adanya saksi atas penemuan itu. Sehingga,sesuhunan Cirebon mengutus juru kunci Astana Gunung Jati yakni: Kyai Talka atau Kyai Tolakoh untuk segera pergi ke tempat dimana temuan Raden Somaredja tersebut.
Kyai Tolakoh dan Raden Somaredja sampai di Pulobata, masih menjumpai cahaya yang bersinar. Terlihat oleh keduanya, seseorang yang berpakaian jubah putih memegang tasbih yang sedang berdzikir, dan ketika diberi salam, bayangan orang yang sedang berdzikir itu menjawab sambil memberikan pesan, "Jaga dan peliharalah tempat ini, Insya Allah akan membawa keberkahan untuk semuanya". Setelah itu, bayangan dan sinar tersebut menghilang tanpa wujud.
Pada waktu itu,bertepatan pada hari Jum'at malam Sabtu Kliwon akhir bulan Ruwah atau Sya'ban tahun 1277 H / 1859 M . Sejak itu, Raden Somaredja dan Kyai Talka melaporkan penemuan tersebut ke kesultanan.
Sehingga para ulama Keraton Cirebon berkunjung ke tempat tersebut untuk melakukan istighosah bersama. Semua sependapat dan meyakini bahwa di tempat itulah keberadaan makam karomah Syekh Quro. Kemudian tempat itu diberi tanda, dengan membawa Batu Jahul atau Batu nisan dari Cirebon, Setiap Jum'at malam sabtu akhir bulan Sya'ban diperingati Haul Syekh Quro. Pada malam Sabtunya, ribuan jamaah mengadakan dzikir atau tawasul akbar. Atas amanah tersebut, Raden Somaredja memelihara tempat itu hingga wafatnya pada tahun 1916 Masehi. Dia dimakamkan di Dusun Krajan I Desa pulokalapa.
Sebelum Raden Somaredja alias Ayah Dji'in atau Pangeran Sambri yang keturunan Munding Kawangi Raja Galuh Pakuan Pajajaran meninggal, beliau memberikan pesan atau wasiat kepada keturunanya untuk melanjutkan memelihara makam Syekh Quro. Di uraikan Rista, sejarah ditemukannya makam Syekh Quro ini, di ambil dari keterangan Raden Suryadidjaya alias Bah Mian atau Mail, putra kedua Raden Somaredja yang ketika wafatnya berusia 105 tahun dan di makamkan di dekat Makam Syekh Quro Pulobata pada tahun 1950 Masehi.
Ada pun keturunan Raden Somaredja yang kesatu Raden Suryadireja (Dji’in) dan Raden Suryawidjaya (Embeh), setelah wafatnya di makamkan di dekat makam Raden Somaredja di dusun kerajan I desa Pulo kalapa.


